@book{STREETLEVELBUREAUCRACYModelPenyelenggaraanPendidikanYangBermutuTeoriKonsepdanAplikasi, author = {Eliazer Teuf and David B. W. Pandie and William Djani}, title = {STREET – LEVEL BUREAUCRACY Model Penyelenggaraan Pendidikan Yang Bermutu (Teori, Konsep dan Aplikasi)}, publisher = {Tangguh Denara Jaya}, day = {5}, month = {1}, year = {2023}, abstract = {Buku STREET – LEVEL BUREAUCRACY, Model Penyelenggaraan Pendidikan Yang Bermutu, (Teori, Konsep dan Aplikasi) terdiri dari 8 (delapan) bab, yang berisikan : bab I) Kondisi Street – Level Bureaucracy (SLB) digambarkan Lipsky (2010) bahwa SLB secara konsisten dikritik karena ketidakmampuannya untuk memberikan layanan yang responsif dan tepat. Hal ini dipicu oleh berbagai persoalan, antara lain diskresi, sumberdaya, perilaku, kinerja, relasi, konflik tujuan, kontrol dan inequality dalam administrasi. Lipsky (2010) dan Hoy, Miskel dan Tarter (2013) menunjukkan betapa pentingnya sekolah membuka diri untuk mendapatkan masukan dari lingkungan agar permasalahan yang dihadapi dapat diatasi. Bab II) berisikan Desentralisasi penentuan kelulusan ujian pada level sekolah tidak menyelesaikan masalah, karena diskresi itu digunakan secara bebas tanpa kendali. Posisi sekolah dan kepala sekolah sebagai Street-Level Bureucracy (SLB) mengalami dilematis antara menjaga mutu pendidikan sesuai SNP di satu pihak dan di lain pihak harus mengakomodasi tuntutan permintaan masyarakat agar siswa tidak dihambat dan mereka harus diluluskan. Bab III) berisikan pendidikan merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu, sehingga negara wajib menyediakan pendidikan yang sama kepada semua warga negara. Pendidikan yang memadai akan membuka horizon berpikir dan memperluas wawasan pemikiran serta orientasi yang menjadi daya dorong masyarakat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan. Selain wawasan, pendidikan berkontribusi terhadap peningkatan ketrampilan (livelihood skill) yang berujung pada peningkatan produktivitas dan dengan pendidikan dapat memberi pengalaman belajar agar SDM memiliki advertise questions, seperti daya juang tinggi dan juga sikap positif terhadap tantangan. Artinya, semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi partisipasi, semakin luas pilihan untuk meraih masa depan dan kemampuan menanggapi perubahan lingkungan yang cepat. Singkatnya, pendidikan pada intinya adalah peningkatan kemampuan manusia agar mempengaruhi dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Bab IV) berisikan Consumer Guide (1993) mengartikan MBS sebagai suatu strategi untuk memperbaiki mutu dengan mengalihkan otoritas pengambilan keputusan dari negara dan daerah ke individu sekolah. Sedangkan, Abu – Duhou (1999) memberi makna terhadap MBS sebagai pembuatan keputusan yang partisipatoris di sekolah yang berkaitan dengan pengaturan sumberdaya. Apa yang dikemukakan Consumer Guide (1993) dan Abu – Duhou (1999) memberi gambaran bahwa MBS merupakan strategi memperbaiki mutu pendidikan dengan menyerahkan kewenangan pembuatan keputusan ke sekolah. Sedangkan, Departemen Pendidikan Nasional (2001) melihat MBS dalam dua sisi yakni otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah dilihat sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka atau tidak bergantung. Tjiptono dan Diana (2001) mengemukakan bahwa Total Quality Management (TQM) merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. Dikemukakan juga bahwa TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus- menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya. Bab V) berisikan Crosby (1979:58) mutu ialah conformance requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Konsep di atas, identik dengan pendapat Nurdin dan Ismaya (2018) bahwa kualitas atau mutu adalah sejauhmana karakteristik yang penting memenuhi persyaratan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai standar atau memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, standar atau persyaratan tersebut meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi. Selain aspek standar, Sani, dkk (2018) mengemukakan bahwa arti lain dari mutu adalah sesuai harapan ‘pelanggan’, pihak-pihak terkait dan sesuai dengan yang dijanjikan. Dapat dikatakan bahwa sesuatu yang bermutu, jika sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Karena itu, sekolah dalam menyusun program dan kegiatannya berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan, sebagai target pencapaiannya. Bab VI) berisikan SLB mempengaruhi mutu pendidikan, dan dapat djelaskan dalam tiga aspek yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dalam aspek ontologi, sebagian besar Sekolah Menengah Pertama di Indonesia telah melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan sebagian kecil melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Aspek Epistemologi, Mencari solusi atas permasalahan rendahnya mutu pendidikan dibangun kerangka berpikir dalam sebuah model mutu pendidikan. Model dimaksud merujuk pada aspek dan faktor- faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan Sekolah Menengah Pertama di Indonesia. Faktor-faktor penyebab tersebut dapat diketahui dengan metode dan pendekatan yang tepat, yang didasarkan atas kebenaran ilmiah, karena dibangun atas logika berpikir yang rasional dan dapat dibuktikan secara empirik. Sedangkan, aspek aksiologi, MBS dan SPMI telah memberikan manfaat bagi upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, karena pendidikan yang bermutu menjadi impian semua orang. Kesadaran akan pentingnya pendidikan yang bermutu, semakin hari semakin tinggi, sebagai akibat dari tuntutan dunia kerja dan arus globalisasi. Bab VII) berisikan Mutu pendidikan dapat ditingkatkan apabila peran SLB dalam aspek MBS dan SPMI dioptimalkan. Peran SLB dalam aspek MBS belum berjalan efektif, yakni diskresi yang terbatas; sumberdaya minimal; konflik tujuan; perilaku, relasi dan perilaku yang menyimpang; inequality dalam administrasi; dan kontrol yang lemah menjadi penghambat peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten A. SLB belum secara efektif melaksanakan tugas manajemen dalam hal pengawasan (controling). Faktor yang mendukung SLB terdapat diskresi; sumberdaya pendukung; perilaku, relasi dan perilaku yang terukur; terdapat tujuan yang jelas; terdapat kontrol yang terencana dan tepat, dan terdapat aplikasi Data pokok pendidikan (dapodik), aplikasi Desicion Suport System (DSS) dan aplikasi Penjaminan Mutu Pendidikan (PMP). Sedangkan, pada SPMI, SLB berperan dalam menetapkan standar mutu, walaupun demikian masih mengalami hambatan, karena upaya pemenuhan standar dilakukan secara bertahap akibat dari keterbatasan anggaran yang disiapkan pemerintah, pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat. Selain itu, mutu pendidikan dapat ditingkatkan apabila SPMI diperbaiki dan dibenahi dalam hal pemetaan mutu, rencana mutu, pemenuhan mutu dan evaluasi mutu. Sedangkan, bab VIII) berisikan Street-Level Governance penyelenggaraan Pendidikan Dasar. Street-Level Governance adalah tata kelola (governance) organisasi publik yang dilaksanakan oleh pekerja tingkat bawah (street-level). Pekerja street- level adalah pelayan publik yang dalam melaksanakan tugasnya setiap hari berinteraksi langsung dengan warga negara. Pada satuan pendidikan dasar, kepala sekolah dan guru adalah pekerja street-level. Sedangkan Street- Level Governance penyelenggaraan pendidikan dasar merupakan tata kelola penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan dasar dalam semangat MBS dan berada dalam satu SPMI, yang diproses dengan spirit new public service, good governance, pendidikan inklusif, local governance, diskresi yang tepat, relasi/perilaku dan kinerja yang baik serta menciptakan budaya mutu untuk mendapatkan tingkat kepuasan pelayanan publik yang baik bagi public governance, corporate governance, dan civil society). }, place = {Kupang}, isbn = {978-623-88361-4-7 }, }